Nasionalisme dan Islamisme

Merdeka!

Di tengah semakin lunturnya semangat kebangsaan, kita perlu terus berjuang menata dan membangun kembali rasa kebangsaan yang kokoh, karena hanya di atas rasa kebangsaan yang kokoh sebuah bangsa akan maju.

Tahun 1926 Bung Karno dalam sebuah artikel berjudul Nasionalisme, Islamisme, Marxisme sudah menyadari pentingnya membangun semangat persatuan. Tetapi waktu itu ketika semangat nasionalisme tumbuh di kalangan tokoh Indonesia sudah ada Islamisme dan Marxisme yang tidak sejalan dengan nasionalisme.

Bung Karno menyadari bahwa Islamisme dan Marxisme yang berorientasi internasional, di mana Marxisme berkiblat ke Moscow dan Islamisme berkiblat ke Mekah, dapat mengganggu pembentukan semangat kebangsaan. Bung Karno juga menyadari membangun nasionalisme tanpa merangkul para pengikut Islamisme dan Marxisme di jaman kesadaran berbangsa masih belum tumbuh akan mengalami kesulitan. Karena itu Bung Karno dengan jiwa mudanya yang penuh optimis melontarkan gagasan bahwa Nasionalisme, Islamisme dan Maxisme dapat bersama-sama membangun Indonesia Merdeka dengan catatan mereka yang menganut paham Islamisme memilih menjadi orang Indonesia yang beragama Islam daripada menjadi orang Islam yang numpang tinggal di Indonsia. Demikian juga kepada penganut Marxisme Bung Karno menyerukan agar menjadi orang Indonesia yang berpaham komunis.

Ketika berada dalam pembuangan di Endeh dan di Bengkulu Bung Karno tampaknya menyadari bahwa tidak mudah mengajak orang Islam untuk menjadi orang Indonesia yang beragama Islam. Hanya persoalan tabir yang memisahkan laki-laki dan perempuan di ruang pertemuan Muhammadiyah, Bung Karno dan Ibu Inggit harus bersitegang menyampaikan protes bahwa tindakan itu merendahkan derajat perempuan.

Hal yang lebih menguras perasaan Bung Karno terjadi ketika urutan sila-sila Pancasila diubah sehingga Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan diurutan pertama yang kemudian dilanjutkan dengan tuntutan bahwa dasar negara yang akan dicantumkan dalam UUD 45 adalah Islam. Menghadapi tuntutan atau lebih tepatnya desakan tersebut, Bung Karno sempat menitikkan air mata dan berjuang terus agar Indonesia menjadi rumah bagi semua warga bangsa tanpa perbedaan suku, ras dan golongan.

Tahun 1926 ketika menulis artikel Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme Bung Karno mengambil contoh perjuangan India di mana penganut Islam dan Hindu dapat bersama-sama menghadapi Inggris dan juga Nasionalis China dan Komunis China dapat bersama-sama membangun kembali Great China. Tetapi di tahun 1950-an apa yang dikatakan Bung Karno tahun 1926 sudah terbukti tidak mungkin ada, yaitu bersatunya Islam dengan kekuatan lain dan bersatunya Komunis dengan kekuatan lain. India pecah menjadi India bagi orang Hindu dan Pakistan bagi orang Islam dan Pakistan kemudian pecah lagi menjadi Pakistan dan Bangladesh. China Komunis ahirnya mengusir China nasnionalis ke Pulau Formosa. Islamisme dan Komunisme terbukti tidak dapat menjadi kekuatan pemersatu bangsa tetapi justru menjadi unsur pemecah bangsa karena semangat internasionalismenya demikian tinggi yang cenderung mengkafirkan dan menindas kekuatan lainnya walaupun kekuatan itu saudara sebangsa.

Di awal tahun 1950-an Bung Karno melihat bahwa bahaya Indonesia menjadi negara Islam sudah sedemikian besar, karena perjuangan bersenjata melawan Belanda sudah berlalu dan PKI sudah dibubarkan karena peristiwa Madiun sedangkan kekuatan nasionalis di mana banyak anggotanya beragama Islam sulit dandalkan untuk dapat membendung Islamisme yang berusaha mengambil alih kekuasaan. Jalan yang ditempuh Bung Karno ahirnya menghidupkan kembali PKI walaupun langkah itu ditentang banyak kalangan terutama tentara (Siliwangi) yang pernah menumpas pemberontakan PKI Madiun. Bung Karno melihat hanya PKI yang dapat diandalkan membendung Islamisme menguasai Indonesia yang jika dibiarkan pasti akan menghancurkan Indonesaia karena sebagian wilayah Indonesia akan segera memisahkan diri dari NKRI.

Apa yang dilakukan Bung Karno membuahkan hasil, pada pemilu tahun 1955 kekuatan Islam tidak mencapai dua pertiga kursi konstituante sehingga perjuangan para tokoh Islam menjadikan Islam sebagai dasar negara atau paling tidak menambah tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya) dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa dapat digagalkan. Tetapi pertarungan antara Islamisme dan Komunisme semakin meruncing dan tidak mungkin diselesaikan selama kekuatan nasionalis yang dapat mengalahkan kedua kekuatan yang berorientasi internasional tersebut belum muncul. Kemudian kekuatan nasionalis malah cenderung dekat dengan komunis dan bersama-sama menghadapi Islamisme.

Menjelang tahun 1965 pertarungan ideologi dalam merebut kekuasaan di Indonesia sudah menjadi dua kutub yaitu Komunisme dan Islamisme. Di dalam komunisme juga ada kekuatan nasionalisme sedangkan Islamisme tidak tampak ke permukaan setelah pemberontakan DI dan PRRI/Permesta ditumpas dan yang ada adalah Angkatan Darat di mana di belakangnya ada Islamisme. Perseturuan tersebut pecah menjadi perang saudara dengan akibat ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang PKI dan simpatisannya dibantai dan sebagian disiksa dan dipenjarakan. Ada yang mengatakan Bung Karno rela menyerahkan kekuasaan kepada Pak Harto menghindari perang saudara antara pendukung Bung Karno dan pendukung Pak Harto tetapi pendapat itu tidak tepat karena perang saudara sudah berlangsung dari tanggal 1 Oktober 1965 hingga akhir tahun 1965 yang menyebabkan jutaan anggota dan simpatisan PKI dibantai dan jutaan lagi mengalami kesulitan yang berdampak hingga anak cucu. (Baca buku Sukarno Memilih Tenggelam Agar Suharto Muncul).

Di antara dua kekuatan Islamisme dan Komunisme yang disebut Bung Karno pada tahun 1926 yang masih ada hingga sekarang hanya Islamisme. Pertanyaannya apakah Islamisme di jaman ini masih membahayakan kepentingan bangsa?

Bung Karno tahun 1926 menggunakan kata Islamisme dan bukan agama Islam, karena Bung Karno melihat perbedaan antara Islamisme sebagai ajaran hidup bernegara dan Islam sebagai ajaran agama yang berifat membangun kepribadian. Bung Karno membedakan antara Islamisme yang masuk dalam ranah publik dan agama pada umumnya yang bergerak di ranah privat. Mungkin orang sekarang tidak terlalu melihat perbedaan tersebut sehingga semua yang menggunakan simbol Islam dilihat sebagai agama dan untuk melihat hubungan Islamisme dengan nasionalisme untuk kepentingan membangun bangsa Indonesia, perbedaan tersebut perlu kembali ditegaskan.

Agama yang benar adalah ajaran yang bergerak di ranah privat dan tidak ikut campur dalam ranah publik. Orang yang sembahyang secara pribadi, apa pun yang dilakukan dalam sembahyang tersebut adalah masalah pribadi yang perlu dihormati dan dijamin kebebasannya dalam HAM. Tetapi kegiatan apa pun yang mengganggu ketertiban umum seperti membuat keributan di pagi buta menggunakan pengeras suara, harus dilihat bukan sebagai kegiatan agama tetapi kegiatan yang mengganggu ketertiban umum dan harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku karena bagi semua warga Indonesia yang harus ditempatkan lebih tinggi dan dihormati di ruang publik adalah hukum Indonesia dan bukan hukum (yang katanya) datang dari Tuhan. Pembentukan UU Pornografi bukan masalah agama tetapi masalah negara karena itu jika memang UU itu diperlukan yang menjadi tolok ukur adalah kepentingan bangsa dan negara bukan kepentingan agama. Mengucapkan asalamualaikum di ruang publik harus dilihat bukan masalah agama tetapi masalah berbangsa di mana sudah seharusnya bangsa Indonesia bangga menggunakan bahasa Indonesia di semua kesempatan.

Islam sebagai agama tidak perlu diperdebatkan di ruang publik tetapi Islamisme yang dapat mengganggu jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara perlu didiskusikan secara terbuka di ruang publik agar semua orang yang berkepentingan atas nasib bangsa ini dapat memahami apa yang sebenarnya di persoalkan. Karena itu tulisan soal Islam perlu dibedakan antara masalah agama dan bukan masalah agama tetapi karena tidak mudah memisahkan antara Islam sebagai agama dari Islamisme, perdebatan tentang Islam di ruang publik tidak mungkin dihindari dan untuk kepentingan bangsa dalam membangun semangat kebangsaan, perbedabatan itu perlu agar menjadi jelas apa Islam sebenarnya.

Salam

Tidak ada komentar: